Evolusi Arsitektur Nusantara

Dalam menghadapi krisis identitas arsitektur bangsa kita, pencarian jati diri ke-nusantara-an membutuhkan nalar yang menerawang masa purba, ketika orang mulai memikirkan untuk merekayasa elemen alam menjadi sebuah ‘tempat’. ‘Tempat’ paling purba untuk sebuah ‘ruang’ yang dibutuhkan agar dapat beristirahat sejenak dari kegiatan berbudi dan berdaya bagi sebuah perjalanan kehidupan. Contoh kasus yang digunakan dalam tulisan ini adalah karya masyarakat pulau Madura, khususnya pada wilayah yang terpencil dan sulit terjangkau sistem transportasi.

Gambar 1. Sebuah gubuk (di tambak garam) 

yang berevolusi menjadi bentuk lain (di tepi pantai terpencil) yang lebih besar dengan teknik pencerminan. Sebuah bentuk atap satu sisi yang berevolusi menjadi bentuk atap pelana.


Gambar 2. Sebuah gubuk beratap pelana 

ditambah teritis untuk memperluas ’ruang’, berevolusi menjadi rumah dengan memperbesar skala, menapakkan ke tanah dan menutupi dengan lebih banyak dinding.


Gambar 3. Sebuah rumah yang mengalami evolusi 

dengan lebih memperhatikan kualitas bahan dinding, berevolusi lagi dengan menambah teritis di sisi lainnya, dipercantik dengan ornamentasi pagar rumah (bukan pagar halaman)


Gambar 4. Pemikiran terhadap kualitas bahan yang lebih tahan cuaca

membuat bentuk atap pelana menjadi perisai, evolusi yang lebih tinggi menyentuhkan budaya manusia dengan ornamentasi dan warna


Setiap lokasi di muka bumi pasti memiliki spesifikasi tertentu, penyelesaian masalah desain arsitektur juga spesifik untuk setiap lokasi. Contoh di pulau madura adalah salah satu penyelesaian masalah desain arsitektur di daerah pesisir. Tentunya penyelesaian ini akan berbeda jika terjadi di daerah hutan datar, daerah pegunungan kering, daerah pegunungan subur, daerah di kaki gunung, daerah di lereng gunung, dan sebagainya. Sketsa berikut memperlihatkan evolusi serupa yang terjadi untuk arsitektur Jawa.

Gambar 5. Evolusi arsitektur Jawa, dari vernakular ke tradisional

Tentunya evolusi arsitektur yang terjadi di pulau Sumatra akan memiliki perbedaan. Begitu pula dengan kota medan, wilayah minang, wilayah sunda, pulau Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Papua, dan lain-lain. Semuanya memiliki ciri tersendiri yang perlu digali oleh putra-putra terbaik dari daerahnya. Arsitek-arsitek nusantara yang adiluhung membawa jiwa leluhur kita.

Sudah barang tentu pada saat ini ilmu teknik bangunan dan arsitektur demikian majunya. Berbagai filosofi, langgam, bahan, struktur dan konstruksi baru sudah demikian memusingkan arsitek nusantara masa kini. Tatanan dan aturan tradisional dengan berbagai keunikan cara dan penamaan elemen konstruksi merupakan tambahan permasalahan baru bagi arsitek masa kini yang ingin bereksplorasi dengan ke-nusantara-an. Justru kerumitan inilah yang membuat arsitektur nusantara semakin dijauhi karena memang sulit didekati.

Perlu formula baru yang dapat membuang segala kesulitan ilmu arsitektur ’import’ yang memusingkan. Perlu pemahaman baru agar order nusantara tetap dapat diterapkan dengan lebih sederhana dalam berarsitektur. Perlu semangat baru agar arsitektur nusantara dapat menjadi produk ’eksport’ yang membanggakan. Akhirnya memang perlu niat bersih dari arsitek nusantara untuk dapat bekerjasama dengan meminggirkan setiap ke’aku’an. [Tjahja Tribinuka ~ Dosen Jurusan Arsitektur ITS]

Sumber: architect-news.com