Ridwan .K : Merangsang Ruang Bermain yang Kreatif bagi Kota

Bandung - Ruang-ruang publik yang diperuntukkan sebagai arena bermain di suatu kota menjadi satu hal penting untuk merangsang warga kota agar lebih kreatif. Saat ini masyarakat di kota besar seolah kehilangan ruang untuk bermain di ruang publik kota. Terutama di kota-kota besar, arena-arena bermain kini telah diambil alih oleh kapitalisasi ekonomi. Hal itu mengakibatkan hilangnya ruang-ruang bermain yang bebas dan gratis bagi masyarakat di kota besar.


“Kota besar sekarang terlalu banyak dikapitalisasi ekonomi. Untuk bermain saja, harus merogoh kocek mahal ke tempat-tempat seperti Trans Studio atau Kidzania. Padahal manusia itu kan hakikatnya bermain. Justru kota-kota besar sekarang krisis tempat bermain untuk warga kotanya sendiri,” ujar arsitek Ridwan Kamil dalam paparannya mengenai “Urban Play” di acara Indonesia Bermain, Sabuga Bandung, Minggu (23/10) lalu. 

Kota juga tidak bisa memfasilitasi warganya untuk bermain. Salah satunya Sungai Cikapundung yang tidak layak dijadikan arena bermain karena airnya yang kotor. Menurut Ridwan Kamil, kurangnya ruang bermain mengakibatkan vandalisme dari warga kota itu sendiri. “Karena kota itu tidak ada sarana bermain skate, jadinya para skater memanfaatkan ruang publik lainnya agar mereka bisa bermain. Padahal seharusnya pemerintah kota bisa menyediakan sarana bermain skate bagi mereka,” lanjut pria yang akrab disapa Emil ini. 

Konsep “Urban Play” yang dipresentasikan oleh Ridwan Kamil ini mengajak warga kota agar secara kreatif memanfaatkan fasilitas kota menjadi sarana bermain yang bebas dan gratis. Menurut Emil, fasilitas-fasilitas yang terdapat dalam suatu kota bisa dimanfaatkan sebagai arena bermain seperti gedung tinggi, kawasan publik, taman, jalan, sungai, dan sebagainya. 

Salah satu contoh konkret yang memanfaatkan fasilitas kota sebagai arena bermain yaitu permainan olahraga Parkour yang memanfaatkan gedung-gedung atau kawasan tinggi sebagai arena bermainnya. Konsep bermain yang diterapkan “Urban Play” adalah membangun kota yang bisa interaktif dengan warganya. Tak sekedar bermain, namun warga pun dituntut melakukan inovasi-inovasi kreatif terhadap kotanya. Tujuan dari “Urban Play” ingin membangun dan mengangkat optimisme warga terhadap kotanya melalui sarana permainan. 

“Di kota kita butuh mendisiplinkan orang-orang dengan cara kreatif,” papar arsitek yang karyanya sudah bertebaran di banyak negara. 

Ridwan Kamil memberi contoh taman lanjut usia (lansia) di Perancis yang merangsang para orang tua itu untuk bermain dan berkomunikasi di taman tersebut melalui permainan bola yang mirip permainan adu kelereng. Menurutnya, ide-ide kreatif justru bisa lahir dari sesuatu hal yang fun dan rileks. Selain itu, kadang kreativitas juga muncul setelah ada interaksi antar warga.


“Kalau kotanya saja tidak ada ruang untuk bermain, bagaimana warganya mau keluar rumah. Padahal kreativitas selalu muncul saat warga bisa saling berinteraksi. Saling bertemu dan saling ngobrol. Baru ide-ide bisa muncul,” lanjutnya. 

Menurutnya, ide mengenai “Urban Play” bisa terealisasi dengan basis kolaborasi antar warga dari berbagai latar belakang pendidikan. Contohnya, “Piano Stairs” di Stockholm, Swedia yang menggabungkan disiplin seni, elektro, dan musik, sehingga efeknya mendorong warga kota lebih memilih menggunakan tangga dibanding elevator. Konsep bermain yang fun dan dipadukan dengan kreativitas membuat kota lebih berwarna dan menarik. 

“Intinya, bagaimana membuat warga kota bisa berkolaborasi dengan ide-idenya agar kota menjadi lebih menarik,” ujar Ridwan Kamil.

Teks dan foto : Idhar Resmadi
Sumber : arsitektur.indonesiakreatif.net