Hubungan antara Arsitek dengan Klien | Tjahja Tribinuka



Hubungan antara arsitek dengan klien merupakan pembahasan klasik yang tidak terselesaikan saat ini. Bahkan secara kritis dan teoritis masalah tersebut dibahas oleh Anthony Antoniades dalam bukunya ‘Poetic of Architecture’.


Disebutkan tentang topik ‘Architect vs Client’ pada bagian akhir buku ini. Penjelasannya mengarahkan agar arsitek tidak serta-merta menjadi superior dengan ide-ide desainnya tanpa memperhatikan klien. Seorang arsitek berbeda dengan seniman yang lain, karena dibutuhkan ilmu fisik dan sosial agar dapat mewujudkan desain yang berhasil. Ilmu fisik diharapkan mampu menjelaskan kepada klien berbagai hal yang bersifat rasional, sedang ilmu sosial dibutuhkan untuk menjaga hubungan dalam pemahaman kemasyarakatan.


Dalam pertimbangan lain terdapat dua kecenderungan ekstrim dari hubungan antara arsitek dengan klien. Pertama adalah kecenderungan di mana klien lebih superior dibanding arsitek, dan yang kedua adalah sebaliknya di mana arsitek lebih superior terhadap klien. Kecenderungan pertama terhasilkan dari kekuatan klien sebagai seseorang yang merasa memiliki bangunan (karya arsitektur). Arsitek adalah orang yang bekerja kepada klien, oleh karena itu tipe ini mengharuskan bahwa semua hasil arsitek adalah sesuatu yang berasal dari panduan klien. Segala sesuatu mengenai bentuk ruang, efisiensinya, kecenderungan terhadap trend arsitektur, pemilihan warna dan lain-lain berawal dari visi klien secara pribadi.


Kecenderungan kedua adalah superioritas arsitek terhadap klien. Dapat terjadi dari dua hal, yaitu tingginya pengalaman dan ilmu seorang arsitek, atau bahkan juga karena pengalaman dan ilmunya yang amat rendah. Seorang arsitek yang memang memiliki ilmu dan pengalaman tinggi akan berupaya mengarahkan desainnya agar menghasilkan karya yang dapat meningkatkan taraf kehidupan klien. Sebaliknya seorang arsitek yang memiliki ilmu dan pengalaman rendah juga biasanya ‘merasa’ tidak mau diatur oleh klien, dan tipe ini sering menghasilkan kegagalan dalam proses berarsitektur. Dalam kata lain, proses ini menghasilkan putusnya hubungan antara arsitek dengan klien. Jika hubungan berlanjut, yang terhasilkan adalah proses arsitektural monoton dari sekedar perintah klien sebagai pemberi tugas dan arsitek sebagai orang yang bekerja padanya.

Terlepas dari polemik hubungan ini, bangunan-bangunan tetap bermunculan di segenap sudut kota. Entah bangunan tersebut dapat disebut sebagai arsitektur atau hanya pantas disebut sebagai ‘bangunan’ saja. Sebuah bangunan hanyalah tampilan dari kompisisi struktur dan konstruksi bahan, sedangkan karya arsitektur adalah bangunan dengan nilai-nilai yang sarat estetika, makna, simbol, seni dan budaya masyarakat. Seringkali terjadi sebuah ‘bangunan’ diberi sedikit bau nilai estetis dari trend gaya arsitektur yang sedang berlangsung pada suatu masa. Namun hasilnya tetap dapat diapresiasi oleh masyarakat dari segi kualitas arsitekturalnya. Masyarakat dapat menilai bangunan ruko yang berjajar-jajar monoton dengan karya unik sebuah gedung pusat perbelanjaan.


Terkadang perwujudan bangunan dan karya arsitektur bernilai rendah ini juga diluar keinginan arsitek atas ketidak-mampuannya menghadapi superioritas klien. Tetapi ada pula yang terjadi saat klien menginginkan karya yang berkualitas tapi arsitek tidak mampu mewujudkannya atas kerendahan pengetahuannya terhadap perkembangan arsitektur. Bisa jadi seorang arsitek tidak mampu berpikir lebih rasional, kurang mau membaca perkembangan dinamisasi bentuk dari karya-karya arsitektur yang sudah ada baik dari buku, majalah maupun karya terbangun secara nyata. Bisa jadi seorang arsitek hanya menjalankan rutinitasnya dalam mendesain dari pengetahuan awal yang didapatnya saat belajar arsitektur, padahal di sisi lain dunia arsitektur berkembang demikian pesat, baik dari segi teoritis, estetika bentuk maupun kecanggihan teknologi dan bahan.

"Kemauan arsitek untuk selalu belajar, dan kegigihannya untuk berlatih mengingat serta menyerap apa yang dipelajarinya menjadi bahan awal bagi arsitek dalam menghadapi klien."

Selanjutnya adalah kemampuannya mengeluarkan kembali berbagai ilmu dan pengalaman yang dipelajarinya terhadap klien. Strategi dan kepandaian berkomunikasi sangat vital bagi arsitek untuk meyakinkan klien terhadap desain-desain yang dihasilkannya. Bagaimanapun, seorang arsitek memiliki lebih banyak pengetahuan arsitektural dibandingkan dengan klien. Keinginan klien adalah data yang perlu diserap dan diolah secara empiris dalam penelitian arsitektur baik secara informal (untuk negara berkembang biasanya memang secara informal) maupun secara formal. Hasil dari penelitian tersebut adalah bahan yang cukup signifikan bagi arsitek untuk meyakinkan klien terhadap kualitas desain yang dibuatnya. Komunikasi yang terjadi antara arsitek dengan klien bukanlah proses yang berprinsip ‘siapa dihargai siapa’, tetapi sebuah proses untuk memecahkan masalah secara bersama-sama, antara seorang profesional (arsitek) dan seseorang yang memiliki data terhadap kebutuhan dan keinginanya terhadap karya arsitektur (klien).





oleh : Tjahja Tribinuka
Dosen Jurusan Arsitektur ITS